Laman

Selasa, 30 September 2014

KEMERDEKAAN

Lebih kurang 1 tahun lagi, tepatnya tanggal 17 Agustus 2015, maka genaplah usia 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia. Jika dianalogikan pada manusia, perjalanan kehidupan selama 70 Tahun tentu tidaklah singkat. Manusia pada usia seperti ini tentu sudah sangat dewasa dan kaya dengan pengalaman serta pencapaian-pencapaian yang sudah diraih.
Menganalogikan usia 70 Tahun Kemerdekaan sebuah bangsa atau negara dengan pencapaian usia manusia tentu tidak selamanya tepat. Namun demikian, sebuah bangsa atau negara yang sudah memiliki usia lebih dari setengah abad tentu sudah sepantasnya melakukan refleksi secara menyeluruh tentang apa saja yang sudah dicapai, kendala-kendala apa saja yang dihadapi, serta bagaimana menghadapi tantangan ke depan di zaman yang terus mengalami perubahan. Acuan refleksi diri tersebut tentulah cita-cita luhur didirikannya Negara Republik Indonesia yang secara de facto telah diploklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa makna utama dari proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah pernyataan pada dunia bahwa Indonesia sudah bebas dari penjajahan. Peristiwa Proklamasi sekaligus mengumandangkan bahwa bangsa Indonesia telah bebas, merdeka, sehingga sudah duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Namun demikian, perlu diingat bahwa proklamasi kemerdekaan pada hakikatnya bukanlah tujuan, melainkan cara untuk mencapai tujuan. Maksudnya bahwa proklamasi kemerdekaan sebenarnya adalah awal dari lembaran sejarah baru bangsa Indonesia untuk mulai melakukan penataan diri, merencanakan pembangunan di segala bidang sesuai dengan tujuan proklamasi itu sendiri. Dengan demikian, sebenarnya perjuangan bangsa Indonesia belum selesai, tetapi bentuk dan caranya saja yang berbeda. Ketika sebelum proklamasi, bentuk perjuangan membebaskan diri dari penjajahan lebih bersifat fisik dengan mengangkat senjata, maka perjuangan pada masa sekarang adalah menghadapi neokolonialisme atau penjajahan dalam bentuk baru. Meskipun sebuah Negara sudah merdeka, secara de facto, namun bisa saja penjajahan dalam bentuk lain seperti adanya campur tangan dari kekuatan tertentu atau negara lain dalam bidang ekonomi, politik, social-budaya, dan sebagainya. Satu-satunya cara untuk dapat menghadapi berbagai tantangan tersebut adalah kesiapan sumberdaya manusia yang berkualitas ditandai oleh manusia Indonesia yang cerdas, kompetitif, mandiri, berkarakter, dan memiliki daya saing yang tinggi. Dalam hal ini, peran pendidikan tentulah sangat strategis, karena pada kenyataannya kemajuan sebuah bangsa atau Negara sangat tergantung pada kualitas pendidikan nasionalnya.
Artikel ini akan mencoba mengkaji bagaimana tantangan kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini dan masa yang akan datang berdasarkan hasil refleksi terhadap usia 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia. Fokus artikel ini adalah menjelaskan bagaimana peran dunia pendidikan untuk menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas, sehingga mampu mewujudkan tujuan proklamasi kemerdekaan yang luhur tersebut.
Tepat tanggal 17 Agustus 2015 genaplah 70 Tahun usia Kemerdekaan Indonesia. Melakukan sebuah refleksi secara menyeluruh tentulah membutuhkan kajian yang mendalam dan kompleks, karena menyangkut seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kurun waktu yang cukup panjang. Untuk itu pembahasan artikel ini hanya akan dibatasi pada isu-isu yang menurut penulis sangat penting berdasarkan hasil pengamatan dan kajian dari berbagai sumber, baik yang bersifat internal maupun eksternal, seperti masalah konflik SARA dan kehidupan di era globalisasi. Sebagai focus konklusi, akan dibahas bagaimana peran yang dapat disumbangkan oleh pendidikan.
Setiap tahun sekali tepatnya tanggal 17 Agustus, masyarakat Indonesia merayakan hari kemerdekaan dengan berbagai cara, mulai dari peringatan secara resmi melalui upacara bendera diberbagai lembaga sampai pada berbagai kegiatan yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Sehingga kita sudah tidak asing lagi dengan kemeriahan dan riuh rendahnya berbagai perlombaan seperti lomba balap karung, tarik tambang, makan kerupuk, panjat pinang, sampai pada pementasan musik dari berbagai kalangan. Kegiatan-kegiatan seperti itu pada taraf tertentu masih dapat dianggap positif dan bermanfaat, karena paling tidak ternyata masyarakat mengingat hari kiemerdekaan. Namun demikian, pertanyaannya adalah: apakah dengan berbagai kegiatan tersebut mampu mengangkat makna dan nilai-nilai yang hakiki dari peristiwa proklamasi. Wallahualam …
Text Box: PROLOGSalah satu makna dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah diputuskannya oleh para fouding father bentuk Negara Indonesia sebagai sebuah Negara kesatuan. Maknanya bahwa berbagai suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke tersebut disatukan oleh sebuah negara yang bernama Indonesia. Sebuah Negara multikulturalisme yang mengandung azas saling menghormati dan menghargai dalam kesederajatan. Sehingga konsep Bhinneka Tunggal Ika harus dipegang teguh sebagaimana kuatnya Burung Garuda mencengkram semboyan tersebut.
Namun sekarang cengkraman Burung Garuda tersebut sudah mulai merenggang. Belakangan ini, banyak terjadi konflik-konflik antara suku bangsa antar agama, ras dan antar golongan (SARA), misalnya konflik yang terjadi di Sambas telah mengakibatkan korban nyawa sebanyak 1.989 orang. Begitu pula konflik Poso yang terjadi antara tahun 1998-2001 yang telah menewaskan 960 anak bangsa. Data tersebut belum termasuk konflik besar-besar lainnya, seperti konflik Ambon, Mesuji Lampung, dan sebagainya. Berbagai peristiwa memilukan tersebut tentu sangat memprihatinkan. Ketika bangsa dan Negara ini membutuhkan rasa persatuan dan kesatuan dalam rangka pembangunan nasional, fenomena terjadinya perpecahan horizontal terjadi diberbagai wilayah Indoensia, baik yang bersifat nyata maupun laten.
Selain tantangan secara internal yang mengarah pada disintegrasi nasional seperti yang telah diuraikan di atas, tantangan secara eksternal yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana strategi menghadapi era globalisasi dunia. Suatu era yang ditandai oleh mobilitas manusia yang semakin tinggi, tidak hanya dalam satu negara tetapi juga antar belahan dunia karena dipermudah oleh sarana transportasi yang semakin canggih. Selain  itu perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah ikut pula mempermudah masuk dan keluarnya berbagai informasi dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu yang sangat cepat. Pada satu sisi era globalisasi tentu memiliki manfaat yang sangat luar biasa dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Namun disisi lain, tentu dibutuhkan pula strategi antisipasi agar dampak negatifnya dapat diantispasi.
Selain itu, salah satu fenomena di era globalisasi adalah diberlakukannya perdagangan bebas bahkan bebas visa, baik pada skala internasional dan regional. Implikasinya juga dibebaskannya perusahaan-perusahaan asing membuka cabangnya diberbagai Negara, termasuk pengiriman tenaga ahli secara bebas. Hal ini tentu merupakan sebuah tantanga yang besar, jika sumberdaya manusia Indonesia tidak siap mengahadapinya. Tentu kita tidak ingin warga Negara Indoneisa hanya menjadi pekerja-pekerja kasar karena tidak memiliki kompetensi atau skill yang dibutuhkan oleh berbagai perusahaan multi nasional tersebut.
Selanjutnya, ketika pendidikan sering dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, ternyata juga diemukan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan aspek yang strategis ini. Berdasarkan data  laporan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) tahun 2012, menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 120 negara berdasarkan penilaian Education Development Index (EDI) atau Indeks Pembangunan Pendidikan. Sedangkan tahun sebelumnya Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 127 negara.[1]  Selain itu, The United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2011 juga telah melaporkan tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM ) atau Human Development Index (HDI) Indonesia yang mengalami penurunan dari peringkat 108 pada 2010 menjadi peringkat 124 pada tahun 2012 dari 180 negara. Meskipun pada bulan Maret 2013 dilaporkan naik tiga peringkat menjadi urutan ke-121 dari 185 negara, tetapi jika dilihat dari jumlah negara partisipan, hasilnya tetap saja Indonesia tidak naik peringkat.[2]
Khusus yang terkait dengan permasalahan pelajar, ternyata banyak sekali fakta-fakta yang menunjukkan bahwa proses degradasi moral sedang melanda generasi penerus bangsa. Terjadinya berbagai fenomena dan peristiwa seperti perkelahian antar pelajar, bolos sekolah, pemakaian obat-obat terlarang, dan sebagainya tentu menjadi hal yang sangat memperihatinkan. Karena ketika Negara ini sedang membutuhkan generasi-generasi muda yang berkualitas, fakta yang terjadi malah sebaliknya.
Saat ini hampir semua negara di dunia telah benar-benar menyadari bahwa pendidikan merupakan sarana paling srategis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan suatu negara salah satunya dapat diukur pula dari kemajuannya dalam bidang pendidikan. Beberapa negara yang saat ini dikenal sebagai negara maju ternyata juga telah ditopang oleh sistem pendidikannya yang berkualitas pula. Hanya melalui sistem pendidikan yang berkualitaslah suatu negara akan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang tangguh, mandiri, berkarakter, dan berdaya saing tinggi.
Ditinjau pada konteks Negara Republik Indonesia, kesadaran akan pentingnya pendidikan ternyata juga sudah disadari sejak awal oleh para pendiri negara ini. Hal tersebut terbukti dari salah satu rumusan tujuan Negara Republik Indonesia, yaitu: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara dalam Pasal 31 Ayat 1 dengan jelas menyebutkan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan dilanjutkan pada ayat 2: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Meskipun bidang pendidikan selalu menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional dalam setiap orde pemerintahan di Indonesia, namun seiring dengan itu selalu pula ditandai oleh munculnya berbagai permasalahan seperti yang diuaraikan di atas. Oleh sebab itu, perlu kiranya dilakukan perencanaan pembangunan pendidikan yang lebih terencana, terarah, terpadu, dan berkesinambungan dengan berbasis pada tantangan kehidupan di masa yang akan datang dan berbagai permasalahan yang terjadi saat ini. Perencanaan pendidikan nasional seperti yang dimaksud di atas tentu sangat kompleks. Namun demikian karena roh dari pendidikan itu adalah kurikulum, maka penataan perencanaan tersebut dapat dimulai dari penyusunan dan pengembangan kurikulum pendidikan yang mampu menghasilkan sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas. Apalagi Indonesia sebentar lagi akan mengalami Bonus Demografi, sebuah masa atau era yang hanya akan terjadi satu kali. Yaitu ketika mayoritas penduduk Indonesia didominasi oleh potensi-potensi sumber daya manusia yang berada pada usia produktif.
Berdasarkan tantangan internal dan eksternal di atas, maka penulis mengajukan sebuah solusi perencanaan kurikulum pendidikan yang berbasis solusi terhadap permasalahan-permasalahan berikut ini:
1.             Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan yang berbasis pembentukkan karakter
Orang bijak mengatakan “Jika kita kehilangan harta, sebenarnya tidak kehilangan apa-apa, ketika kita kehilangan kesehatan, kita hanya kehilangan sedikit saja, namun jika kita kehilangan karakter maka kita telah kehilangan segalanya”. Kata-kata bijak tersebutlah yang mungkin menginspirasi presiden Soekarno tentang konsep “Nation Character Building”. Jika dicermati fenomena yang terjadi saat ini, seolah-olah generasi muda sudah muali kehilangan karakter atau jati diri berbangsa dan bernegara. Karena begitu banyaknya nilai-nilai, pandangan hidup, ideology yang datang dari luar mengakibatkan semakin terkikisnya niali-nilai luhur yang bersumber dari kearifan budaya bangsa sendiri.
  Oleh sebab itu menjadi sangat penting dilakukan upaya pengembangan kurikulum pendidikan nasional yang bertujuan untuk membentuk generasi muda yang memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya sendiri.
2.             Perencanaan dan pengembangan kurikulum pendidikan yang holistic
Yang dimaksud dengan kurikulum yang holistic adalah suatu kurikulum yang mampu mengembangkan ketiga ranah pendidikan, yaitu afektif, kognitif dan keterampilan secara terpadu. Hal ini didasari oleh banyaknya kritik terhadap kurikulum pendidikan nasional yang hanya focus pada aspek kognitif saja, sehingga aspek afektif dan keterampilan seolah-olah terabaikan. Apa jadinya jika generasi penerus bangsa hanya memiliki pengetahuan yang luas, namun tidak ditopang oleh sikap, perilaku atau soft skill yang baik pula. Terjadinya berbagai permasalahan bangsa seperti korupsi, manipulasi, dan berbagai kejahatan lainnya sebenarnya adalah hasil dari pendidikan yang tidak mampu menyeimbangkan antara aspek kognitif dan afektif. Begitu pula jika dikaitkan dengan tantangan kehidupan masa sekarang dan yang akan datang, menuntut manusia-manusia yang tidak hanya sekedar kaya akan ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus juga terampil.
Oleh sebab itu,  kurikulum pendidikan yang mampu mengembangkan aspek hard skill dan soft skill secara terpadu dan berkelanjutan menjadi sebuah keharusan. Sehingga diharapkan mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang cerdas, terampil, mandiri, memiliki daya saing tinggi, namun tetap menunjukkan karakter sebagai manusia Indonesia.



[1]  http://edukasi.kompas.com/read/2012/10/20/04385981/Indeks. Pendidikan.untuk. Semua.Masih.Stagnan
[2]  http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/03/kualitas-pendidikan-indonesia-refleksi-2-mei- 552591.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar